Eksistensi Hukum Adat Rejang di Era Modern : Antara Pelestarian dan Tantangan

Bagikan
By Admin - RealNewsBengkulu.Com 04 Feb 2025, 12:09:45 WIB Kabupaten Rejang Lebong
Eksistensi Hukum Adat Rejang di Era Modern : Antara Pelestarian dan Tantangan

Oleh: Rahma Oktaviyanti

Editing & publish by : Wuwun Mirza

 

Realnewsbengkulu.com || Rejang Lebong -- Hukum adat Rejang merupakan salah satu warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur dan menjadi identitas khas masyarakat Kabupaten Rejang Lebong. Sebagai sistem hukum tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, hukum adat ini mencakup aturan yang mengatur tata kehidupan sosial, penyelesaian konflik, hingga pelaksanaan berbagai ritual adat. Dalam praktiknya, hukum adat Rejang tidak hanya berfungsi sebagai pedoman perilaku, tetapi juga sebagai wujud kearifan lokal yang mencerminkan harmoni antara manusia dengan sesama, lingkungan, dan Sang Pencipta. Peran hukum adat yang berbasis kekeluargaan dan musyawarah ini telah terbukti mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat selama berabad-abad.

 

Namun, di tengah arus modernisasi yang begitu deras, eksistensi hukum adat Rejang kini dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Globalisasi telah membawa masuk nilai-nilai baru yang sering kali tidak sejalan dengan tradisi lokal, sementara perkembangan hukum nasional menciptakan tumpang tindih dalam pengaturan norma dan aturan. Selain itu, urbanisasi dan perubahan sosial telah menyebabkan pergeseran cara pandang generasi muda terhadap adat istiadat, yang berpotensi menggerus keberlanjutan hukum adat Rejang. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana hukum adat Rejang dapat tetap relevan di era modern? Apa saja strategi yang diperlukan untuk menjaga keberadaannya di tengah perubahan zaman yang begitu dinamis?.

 

Penulis berpendapat bahwa meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, masyarakat Rejang tetap menunjukkan komitmen kuat untuk mempertahankan hukum adat mereka. Tradisi seperti denda dan cuci kampung menjadi bukti nyata keberlanjutan nilai-nilai adat di tengah arus modernisasi. Denda, sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa, memiliki fungsi yang lebih dari sekadar hukuman. Mekanisme ini dirancang untuk memulihkan harmoni dalam masyarakat melalui pendekatan kekeluargaan dan musyawarah. Dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam proses penyelesaian, denda tidak hanya menyelesaikan masalah tetapi juga memperkuat rasa keadilan sosial di kalangan masyarakat adat.

 

Sementara itu, cuci kampung adalah ritual adat yang memiliki makna mendalam dalam konteks spiritual dan sosial. Ritual ini melibatkan seluruh komunitas, yang bersama-sama membersihkan kampung sebagai simbol pembersihan diri dari hal-hal buruk yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat. Selain sebagai upaya melestarikan kearifan lokal, cuci kampung juga menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas dan rasa kebersamaan di antara anggota masyarakat. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini tidak hanya sekadar ritual formal tetapi juga momentum untuk merefleksikan nilai-nilai adat dan mempererat hubungan antargenerasi.

 

Penulis berpendapat bahwa tradisi denda dan cuci kampung tidak hanya sekadar simbol budaya tetapi juga mencerminkan nilai-nilai luhur hukum adat Rejang yang terus bertahan di tengah berbagai perubahan. Keduanya menunjukkan bahwa hukum adat masih memiliki peran penting dalam menjaga keteraturan sosial meskipun masyarakat Rejang kini hidup di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Pelestarian tradisi-tradisi ini menunjukkan kemampuan masyarakat adat untuk beradaptasi sekaligus mempertahankan identitas budaya mereka di era yang semakin kompleks. 

 

Di tingkat kebijakan, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong menunjukkan komitmen untuk melindungi dan melestarikan hukum adat melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang. Penulis berpendapat bahwa Perda ini menjadi tonggak penting dalam mengukuhkan eksistensi hukum adat Rejang karena memberikan pengakuan resmi yang tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga operasional. Dengan adanya Perda ini, masyarakat adat Rejang mendapatkan perlindungan hukum untuk menjalankan tradisi, adat istiadat, dan praktik-praktik hukum adat mereka tanpa khawatir bertentangan dengan hukum negara. 

Pengakuan terhadap hukum adat ini juga memiliki dasar konstitusional yang kuat. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional mereka sepanjang mereka masih hidup dan selaras dengan perkembangan zaman. Penulis percaya bahwa klausul ini memberikan legitimasi yang lebih luas terhadap hukum adat termasuk hukum adat Rejang dengan mengakui eksistensinya dalam struktur hukum nasional. 

 

Namun, penulis menyadari bahwa pengakuan melalui kebijakan seperti Perda dan konstitusi menuntut adanya implementasi yang konsisten. Tantangan muncul ketika hukum adat harus bersinergi dengan kebijakan modern yang sering kali lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi dan administratif. Dalam hal ini, Perda Nomor 4 Tahun 2017 tidak hanya menjadi dokumen hukum tetapi juga alat yang perlu dimanfaatkan untuk membangun dialog konstruktif antara pemerintah daerah, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan lainnya. 

 

Tantangan besar juga muncul dari beberapa regulasi nasional yang tidak sepenuhnya selaras dengan prinsip dan keberadaan hukum adat. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan wewenang luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola berbagai aspek pemerintahan. Penulis berpendapat bahwa undang-undang ini sering kali menempatkan hukum negara sebagai acuan utama dalam pengambilan keputusan formal sehingga hukum adat cenderung diabaikan atau bahkan dianggap kurang relevan. 

 

Demikian pula Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa meskipun memberikan peluang bagi desa untuk mengelola otonominya sering kali tidak memberikan ruang yang cukup bagi hukum adat untuk berkembang secara otonom. Dalam banyak kasus pemerintah desa lebih mengutamakan kebijakan administratif yang sesuai dengan regulasi nasional dibandingkan dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat setempat. 

 

Selain itu, penulis melihat bahwa pengaruh nilai-nilai agama khususnya Islam telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Rejang. Dalam sistem perkawinan misalnya hukum adat Rejang yang dahulu mengatur larangan-larangan tertentu kini banyak dipengaruhi oleh aturan agama Islam (syarak). Penulis berpendapat bahwa meski integrasi ini mencerminkan kemampuan hukum adat Rejang untuk beradaptasi dengan dinamika sosial tantangan besar tetap ada dalam menjaga keaslian dan keunikan nilai-nilai adat yang telah diwariskan oleh leluhur. 

 

Untuk memastikan keberlanjutan hukum adat Rejang di era modern penyesuaian terhadap perkembangan zaman menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Penulis percaya bahwa hukum adat yang relevan adalah hukum yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan nilai-nilai inti yang menjadi identitas budaya masyarakat. Upaya integrasi hukum adat ke dalam kebijakan lokal seperti melalui pelaksanaan Perda Nomor 4 Tahun 2017 menjadi langkah penting untuk memperkuat posisi hukum adat di tengah perubahan sosial. 

 

Selain itu pendidikan berbasis budaya perlu dioptimalkan untuk mengenalkan generasi muda pada nilai-nilai hukumadat sehingga mereka memahami pentingnya tradisi ini sebagai bagian dari identitas mereka. Dialog intensif antara pemerintah tokoh adat pemuka agama dan masyarakat umum juga diperlukan untuk menjembatani perbedaan pandangan dan menciptakan kesepahaman bersama. 

 

Kesimpulannya meskipun hukum adat Rejang menghadapi tantangan besar di era modern seperti tekanan dari globalisasi regulasi nasional yang kurang selaras dan pengaruh nilai-nilai agama berbagai upaya pelestarian masih menunjukkan hasil positif. Pengakuan hukum melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 dan penguatan legitimasi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menjadi tonggak penting bagi keberlanjutan hukum adat ini.Inisiatif masyarakat adat dalam mempertahan kantradisi seperti denda dan cuci kampung menunjukkan bahwa hukum adat tidak hanya hidup di tataran formal tetapi juga terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Namun keberlanjutan hukum adat Rejang membutuhkan lebih dari sekadar pengakuan formal. Penyesuaian terhadap perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai inti adalah kunci agar hukum adat tetap hidup dan bermakna. Dalam pandangan saya, hukum adat rejang harus dapat beradaptasi sejalan perubahan zaman sambil tetap mempertahankan kearifan lokalnya yang telah terwariskan oleh nenek moyang kita. Saya percaya bahwa dialog antara generasi tua dan muda sangat penting agar warisan budaya kita tidak hilang ditelan zaman. Mari kita bersama-sama menjaga kearifan lokal kita agar tetap hidup dan relevan ditengah arus modernisasi yang tak terhindarkan. (Rilis)




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment