

Penerbitan SHM Di Kawasan TNKS, WALHI Bengkulu Desak Sanksi Pidana Seluruh Oknum Yang Terlibat

Realnewsbengkulu.com || Rejang Lebong -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu turut menyoroti dugaan Penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Desa Pal VII, Kabupaten Rejang Lebong yang ditemukan oleh Balai Pengelolaan TNKS Wilayah III Bengkulu - Sumsel.
Saat di konfirmasi, Direktur WALHI Bengkulu, Dodi Faisal mengatakan, penerbitan SHM dalam kawasan TNKS jelas melanggar UU Nomor 32 Tahun 2024 soal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang melarang perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam.
" Penerbitan SHM di dalam kawasan TNKS sanksinya adalah pidana, hal tersebut sesuai Pasal 21 dan Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," jelasnya, Jum'at (11/07/25) sore.
Ia menambahkan, selama proses hingga terbitnya SHM di kawasan TNKS diduga adanya mafia tanah dan keterlibatan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga pihaknya mendesak agar tidak hanya SHM yang dicabut, tetapi sanksi pidana bagi seluruh aktor - aktor yang terlibat dalam penertiban SHM tersebut.
" Kami minta penegak hukum untuk dapat mengusut tuntas praktik mafia tanah yang kami duga terjadi di kasus penerbitan SHM ini. Karena tanpa keterlibatan institusi yang berwenang, mustahil SHM ini bisa terbit di kawasan konservasi Nasional, sehingga jangan sampai kasus seperti ini terulang kembali, tambahnya.
Sekedar diketahui, sebelumnya, Balai Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Wilayah III Bengkulu–Sumsel menemukan puluhan sertifikat tanah berada di dalam kawasan konservasi TNKS, tepatnya di Desa Pal VII, Kecamatan Bermani Ulu Raya, Kabupaten Rejang Lebong.
Temuan itu diperkuat dengan citra satelit dari aplikasi BHUMI milik Kementerian ATR/BPN, yang memperlihatkan sejumlah bidang tanah bersertifikat berada di dalam batas kawasan taman nasional.
Menariknya, sebagian Sertifikat Hak Milik itu diketahui telah terbit sejak 2016 silam oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Rejang Lebong.
Keberadaan sertifikat di kawasan hutan konservasi jelas bertentangan dengan sejumlah regulasi, antara lain Undang-Undang Cipta Kerja, PP Nomor 28 Tahun 2011, hingga PermenLHK Nomor 14 Tahun 2023. Ketiga regulasi itu secara tegas melarang adanya hak kepemilikan ganda atau penguasaan pribadi atas kawasan konservasi. (Red)